Jumat, 28 Juli 2017

Berdamai dengan Diabetes

Berdamai dengan Diabetes

"Sepertinya mengarah ke diabetes mellitus, tapi nanti kita lihat dulu hasil laboratoriumnya ya" dokter menyampaikan diagnosanya kepada saya. Skema yang terbentuk di pikiran saya tentang diabetes bermunculan. Ayah saya meninggal akibat serangan jantung yang dipicu oleh diabetes, ada pula tetangga saya yang luka di kakinya tak sembuh-sembuh karena diabetes, pernah juga saya membaca kisah seorang ibu yang kakinya diamputasi karena diabetes. Saya bertanya-tanya dalam hati, "Apakah ini tandanya hidup saya tidak akan lama lagi? apa artinya saya tidak bisa hidup normal seperti teman-teman lainnya?"

Sedih, malu, khawatir rasanya bercampur aduk. Sedih karena kata dokter, diabetes belum bisa disembuhkan. Malu karena saya tak mau orang-orang tau kalau saya terkena diabetes. Khawatir karena saya tak tau apakah saya dan Ibu punya cukup uang untuk biaya pengobatannya dan apakah saya masih bisa makan es krim, pecel ayam (laahh???). Tapi setidaknya saya lega mengetahui apa yang terjadi pada diri saya. Saya belum siap mendengar komentar orang-orang, karena itu saya menyimpan ini sebagai rahasia (tapi tetep ajaaaa Si Mamah ga bisa diajak kompromi hehehe).

Selepas itu, banyak saran-saran datang ke kami untuk pengobatan diabetes, seperti brotowali, mahoni, daun kelor, dan entah apa lagi (karena urusan obat-obat tradisional ini Ibu saya yang urus, pokoknya saya tinggal minum, glek..glek..uweeek!! Pait!!). Pengobatan alternatif dengan terapi-terapi juga saya jalani. Mula-mula saya sangat bersemangat dan berharap bisa sembuh, tapi lama kelamaan saya merasa semuanya sia-sia karena gula darah tetap tinggi.  Sebenarnya kadang-kadang saya tak mau mencoba semua saran tetangga dan kerabat, tapi melihat Ibu saya begitu sungguh-sungguh dan berharap anaknya bisa sembuh, sebagai rasa hormat saya kepada Ibu, akhirnya saya jalani juga.

Kebetulan sekali, saat saya terdiagnosa diabetes, saya bekerja di kantor kas bank yang berada di dalam gedung Rumah Sakit Kanker Dharmais. Selama bekerja, saya bisa melihat orang-orang yang sedang diuji kesehatannya datang untuk berobat dengan berbagai kondisi. Saya bisa melihat bahwa apa yang terjadi pada saya patut disyukuri.  Tak baik berlarut-larut menyesali keadaan. Bukankah Tuhan memberikan ujian sesuai dengan kesanggupan hamba-Nya? Artinya, saya mampu melalui ini.

Saya masih ingat, sekitar 5 bulan setelah terdiagnosa, pikiran saya mulai terbuka. Saya datang ke Gramedia dan mencari buku-buku tentang diabetes.  Salah satu buku yang sangat berkesan adalah buku berjudul "Bersahabat dengan Diabetes" yang ditulis oleh Epie Suryono (yang kemudian saya dapat mengenal beliau secara langsung saat saya berobat rutin di RSUP Fatmawati).  Saya juga memutuskan untuk menjalani pengobatan dengan insulin, karena berbagai obat oral yang pernah saya konsumsi tidak banyak membantu menurunkan kadar gula darah saya.

Saya mulai berpikir, saya akan menjalani sisa hidup saya bersama diabetes. Saya tak mau merepotkan Ibu dan orang-orang yang saya sayangi dengan mengurus dan memikirkan saya apabila saya sakit-sakitan, jadi saya harus sehat! Saya akan berkeluarga, punya anak, mengurus suami dan anak (mungkin saat itu pikiran saya terlalu jauh, tapi yaa memang begitulah saya hehe) karena itu saya harus sehat! Daaan sehat itu tidak berarti harus sembuh, hidup sebagai penyandang diabetes pun bisa sehat dan melakukan aktivitas seperti orang tanpa diabetes. Kuncinya, berdamai dengan keadaan, berdamai dengan diabetes.


Ada beberapa hal yang saya coba tanyakan kepada diri sendiri :
"Apa yang saya inginkan dengan keadaan seperti ini?" saya ingin sembuh!
"Apa yang saya inginkan setelah sembuh?" saya ingin bahagia, bisa melakukan aktivitas apapun dan makan makanan yang saya suka (contoh: nasi uduk pecel ayam, eaaaa).
"Apa artinya kalau belum sembuh tidak akan bahagia?" Tidak dong, saya tidak ingin seperti itu.
Baiklah, kalau begitu saya langsung saja mencapai tujuan akhir, yaitu bahagia, meskipun belum bisa sembuh. Kuncinya, bersyukur. Tetap ikhtiar, tetap tawakal. Tiada yang tidak mungkin apabila Allah SWT telah berkehendak.

Akhirnya, saya berusaha keras untuk mengontrol gula darah.  Sebagai pemula, ini memang terasa sulit awalnya. Saya merasakan mengontrol kadar gula darah dengan insulin lebih efektif, dibandingkan dengan pengobatan-pengobatan sebelumnya yang sudah saya coba.  Gula darah saya bisa mencapai nilai normal. Wah, senangnya luar biasa! Tugas saya selanjutnya adalah menjaganya agar tetap normal.  Berat badan saya berangsur-angsur mulai naik. Saya mulai membiasakan diri berolahraga. Dan yang tidak kalah asyiknya, ternyata saya tetap bisa makan makanan kesukaan saya (tapi syarat dan ketentuan tetap berlaku yaaa). Ternyata saya tetap bisa beraktivitas seperti orang-orang tanpa diabetes. Bahkan orang-orang tak menyangka kalau saya ini penyandang diabetes. Jadilah, si diabetes yang tadinya nyebelin, eeehhh sekarang malah jadi sahabat asyik!!!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diabetes Basah atau Diabetes Kering???

When I tell someone, I have diabetes.... "Diabetesnya basah apa kering???" Wah.. ini tanggapan sekaligus pertanyaan sepert...